Subscribe Us

Breaking News

Meningkatnya Fenomena “Fatherless” di Indonesia: Tantangan Baru dalam Pembentukan Karakter Anak


FORMOSA NEWS - Medan - Fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak semakin menjadi perhatian serius di Indonesia. Meski tidak selalu berarti ayah secara fisik tidak hadir, istilah ini merujuk pada absennya figur ayah secara emosional, psikologis, atau sosial dalam proses tumbuh kembang anak.

Menurut data dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), angka fatherless di Indonesia mencapai lebih dari 25 persen dari total populasi keluarga, yang sebagian besar berasal dari perceraian, migrasi kerja, maupun keterlibatan ayah yang minim dalam pengasuhan. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan karakter anak, terutama dalam hal kepercayaan diri, kontrol emosi, dan pembentukan identitas sosial.

“Ketidakhadiran figur ayah bisa menyebabkan anak kesulitan dalam mengenali nilai-nilai kepemimpinan, disiplin, dan tanggung jawab,” ujar Seto Mulyadi, psikolog anak, dalam sebuah seminar di Jakarta.

Fenomena ini turut memicu keresahan di berbagai kalangan, terutama lembaga pendidikan dan pemerhati anak. Beberapa sekolah bahkan mulai menerapkan program parenting father guna meningkatkan keterlibatan ayah dalam proses pendidikan dan keseharian anak di rumah.

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga menyoroti pentingnya peran ayah dalam keluarga. Dalam rencana strategis tahun 2025–2029, KPPPA akan mendorong kampanye “Ayah Hadir” untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keterlibatan ayah dalam membangun generasi yang tangguh.

Sosiolog keluarga dari Universitas Indonesia, Dr. Nurul Hidayati, menyebut bahwa perubahan gaya hidup dan meningkatnya mobilitas kerja menjadi penyumbang utama dari fenomena ini. “Ayah tidak selalu harus berada di rumah 24 jam, tapi keterlibatan emosional dan kualitas komunikasi adalah kunci,” jelasnya.

Fenomena fatherless di Indonesia kini bukan sekadar isu keluarga, tetapi telah menjadi tantangan nasional dalam membentuk generasi muda yang berkarakter dan sehat secara mental. Diperlukan sinergi antara keluarga, sekolah, dan pemerintah agar krisis peran ayah ini tidak meninggalkan dampak jangka panjang bagi masa depan anak-anak Indonesia.


Tidak ada komentar