Bahaya Tersembunyi di Balik Kartun YouTube Shorts: Anak Bisa Kecanduan, Emosi Tidak Stabil, dan Meniru Kekerasan
Dalam hasil
pemantauan konten YouTube Shorts oleh penulis, ditemukan bahwa kartun kekerasan (cartoon violence) dalam format video pendek ini bukan
sekadar hiburan, melainkan bisa menjadi pemicu
perubahan perilaku, gangguan emosi, hingga adiksi pada anak-anak. Yang lebih
mengkhawatirkan, sistem algoritma YouTube akan menyuguhkan tayangan-tayangan
lanjutan yang serupa, bahkan lebih ekstrem, begitu seorang anak mulai
menunjukkan ketertarikan terhadap satu jenis konten kartun tertentu dan algoritma dapat menyajikan dengan tema
tayangan yang sama namun dalam berbagai jenis bentuk cerita.
Hasil wawancara dengan beberapa orang tua dan guru sekolah PAUD
menunjukan bahwa anak-anak yang sering terpapar YouTube Shorts berpotentsi akan
terpapar berulang kali dengan konten kartun dalam berbagai versi, dari yang
ceritanya biasa saja hingga yang sangat memuat adegan kekerasan dalam bentuk
animasi. Akibatnya, adanya potensi peniruan anak terhadap apa yang ditonton,
terlebih karena tontonan tersebut dapat membiaskan atau mengacaukan persepsi
anak terhadap realitas dan apa yang ditontonnya pada tayangan kartun tersebut.
YouTube Shorts
menyajikan video berdurasi kurang dari satu menit, dengan tampilan cepat dan
terus bergulir tanpa jeda. Ini menyebabkan
anak-anak mudah terjebak dalam pola konsumsi berulang (looping), sehingga secara tidak sadar mereka menghabiskan waktu berjam-jam
menyaksikan konten tersebut. Efek domino dari paparan berlebihan ini adalah adiksi digital, gangguan
konsentrasi, dan emosi yang labil, termasuk tantrum,
ledakan amarah mendadak, dan imitasi kekerasan dari tayangan.
Menurut Lia Latifah, Wakil Ketua Umum
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kondisi ini harus menjadi
perhatian serius bagi orang tua.
“Orang tua yang membiarkan anak-anaknya menonton YouTube Shorts tanpa pengawasan adalah orang tua yang lalai. Bahkan bisa saya katakan jahat dan tidak mendidik. Ini bukan sekadar hiburan, ini jebakan digital,” tegasnya saat diwawancarai, Jumat (25/7).
Lia juga
menyayangkan masih minimnya literasi digital di kalangan orang tua, yang
membuat mereka tidak menyadari betapa agresifnya konten visual yang dikemas dalam
bentuk kartun. “Hanya karena bentuknya
kartun, bukan berarti aman. Banyak konten yang mengandung kekerasan simbolik,
verbal, bahkan visual yang sangat tidak pantas untuk anak-anak,” tambahnya.
Apalagi dengan adanya YouTube Shorts yang menyajikan beragam konten
visual yang berbeda-beda, yang satu videonya saja dengan durasi kurang dari 1
menit, sehingga sangat berpotensi memunculkan kecanduan bagi penontonnya. Fenomena ini sejalan dengan apa yang dikenal sebagai “popcorn brain”, yaitu kondisi otak yang terbiasa dengan stimulasi cepat dan
terus-menerus dari tayangan digital.
Tayangan di YouTube Shorts jika ditonton akan berpotensi menimbulkan
kecanduan atau adiksi karena tayangannya dianggap menarik dan beda-beda
sehingga penonton jadi ketagihan. Lebih
berbahaya lagi jika ditonton anak-anak, karena akan berpotensi untuk
menimbulkan emosi yang kurang stabil, cepat untuk
bosan dalam kehidupan nyata, dan kurang empati atau kepekaan sosial karena otaknya
terbiasa menerima rangsangan instan.
Deteksi
Dini: Tanggung Jawab Bersama
Dalam wawancara dengan beberapa guru PAUD menganjurkan orang tua perlu melakukan deteksi dini juga terhadap perubahan perilaku anak, terutama jika anak mulai menunjukkan tanda-tanda seperti:
·Kesulitan dan enggan berinteraksi atau saat ditanyakan, hanya diam;
·Anak sering tanpa sadar menggerakan jari-jarinya seolah memperagakan scrolling tontonan yang ada di media sosial;
·Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi ada unsur-unsur kekerasan verbal dan kosa kata yang tidak lazim didengar dalam interaksi sehari-hari;
·Sulit fokus dan memahami instruksi di sekolah;
·Sering marah tanpa sebab (tantrum dan sering bad mood);
·Mengulang adegan kekerasan saat bermain dengan teman sebaya;
·Susah tidur atau mimpi buruk;
·Kecanduan menonton video pendek;
·Sulit manajemen emosi;
·Halusinasi
Jika anak anda terdapat gejala-gejala di atas, maka perlu menghentikan
segera screen time dan menganti dengan aktifitas edukatif untuk anak. Jika
gejalanya sangat berat, lebih baik konsultasikan ke psikolog anak dan dokter
tumbuh kembang anak untuk penanganan selanjutnya.
Langkah-langkah
pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
membatasi waktu bermain hp
(maksimal 1 jam, di weekends), ketika menonton perlu ada pendampingan orang
tua, menggunakan aplikasi parental control, orang tua menyeleksi dulu tontonan yang aman
ditonton oleh anak, serta mengedukasi anak tentang mana
konten yang baik dan tidak baik,
jangan izinkan anak menonton YouTube Shorts. Lebih bagus lagi, jika anak dialihkan dengan
berbagai aktivitas bermain edukatif sehingga mengabaikan bermain hp.
Oleh: Melisa Arisanty, Yasir Riady
Tidak ada komentar