Subscribe Us

Breaking News

Bahaya Tersembunyi di Balik Kartun YouTube Shorts: Anak Bisa Kecanduan, Emosi Tidak Stabil, dan Meniru Kekerasan



FORMOSA NEWS - Jakarta, 4 Agustus 2025

“Bukan berarti anak tidak boleh bersentuhan dengan teknologi. Tapi harus ada pendampingan dan seleksi ketat. Jangan serahkan pendidikan anak pada algoritma”
Beberapa tayangan kartun di platform YouTube Shorts yang terlihat lucu dan menghibur ternyata memiliki potensi muatan adegan atau animasi bergerak yang  menggambarkan kekerasan meski dalam bentuk fantasi/ animasi. Hal ini merupakan ancaman serius bagi anak-anak yang menontonnya, khususnya anak usia dini. Di balik warna-warna cerah dan tokoh-tokoh animasi yang lucu, terdapat konten kekerasan terselubung yang berpotensi ditiru oleh anak-anak, terutama karena sifat algoritmik platform yang terus-menerus merekomendasikan video serupa sesuai minat penonton.

Dalam hasil pemantauan konten YouTube Shorts oleh penulis, ditemukan bahwa kartun kekerasan (cartoon violence) dalam format video pendek ini bukan sekadar hiburan, melainkan bisa menjadi pemicu perubahan perilaku, gangguan emosi, hingga adiksi pada anak-anak. Yang lebih mengkhawatirkan, sistem algoritma YouTube akan menyuguhkan tayangan-tayangan lanjutan yang serupa, bahkan lebih ekstrem, begitu seorang anak mulai menunjukkan ketertarikan terhadap satu jenis konten kartun tertentu dan algoritma dapat menyajikan dengan tema tayangan yang sama namun dalam berbagai jenis bentuk cerita.

Hasil wawancara dengan beberapa orang tua dan guru sekolah PAUD menunjukan bahwa anak-anak yang sering terpapar YouTube Shorts berpotentsi akan terpapar berulang kali dengan konten kartun dalam berbagai versi, dari yang ceritanya biasa saja hingga yang sangat memuat adegan kekerasan dalam bentuk animasi. Akibatnya, adanya potensi peniruan anak terhadap apa yang ditonton, terlebih karena tontonan tersebut dapat membiaskan atau mengacaukan persepsi anak terhadap realitas dan apa yang ditontonnya pada tayangan kartun tersebut.

YouTube Shorts menyajikan video berdurasi kurang dari satu menit, dengan tampilan cepat dan terus bergulir tanpa jeda. Ini menyebabkan anak-anak mudah terjebak dalam pola konsumsi berulang (looping), sehingga secara tidak sadar mereka menghabiskan waktu berjam-jam menyaksikan konten tersebut. Efek domino dari paparan berlebihan ini adalah adiksi digital, gangguan konsentrasi, dan emosi yang labil, termasuk tantrum, ledakan amarah mendadak, dan imitasi kekerasan dari tayangan.

Menurut Lia Latifah, Wakil Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kondisi ini harus menjadi perhatian serius bagi orang tua.

“Orang tua yang membiarkan anak-anaknya menonton YouTube Shorts tanpa pengawasan adalah orang tua yang lalai. Bahkan bisa saya katakan jahat dan tidak mendidik. Ini bukan sekadar hiburan, ini jebakan digital,” tegasnya saat diwawancarai, Jumat (25/7).

Lia juga menyayangkan masih minimnya literasi digital di kalangan orang tua, yang membuat mereka tidak menyadari betapa agresifnya konten visual yang dikemas dalam bentuk kartun. “Hanya karena bentuknya kartun, bukan berarti aman. Banyak konten yang mengandung kekerasan simbolik, verbal, bahkan visual yang sangat tidak pantas untuk anak-anak,” tambahnya.

Apalagi dengan adanya YouTube Shorts yang menyajikan beragam konten visual yang berbeda-beda, yang satu videonya saja dengan durasi kurang dari 1 menit, sehingga sangat berpotensi memunculkan kecanduan bagi penontonnya. Fenomena ini sejalan dengan apa yang dikenal sebagai popcorn brain, yaitu kondisi otak yang terbiasa dengan stimulasi cepat dan terus-menerus dari tayangan digital.  

Tayangan di YouTube Shorts jika ditonton akan berpotensi menimbulkan kecanduan atau adiksi karena tayangannya dianggap menarik dan beda-beda sehingga penonton jadi ketagihan.  Lebih berbahaya lagi jika ditonton anak-anak, karena akan berpotensi untuk menimbulkan emosi yang kurang stabil, cepat untuk bosan dalam kehidupan nyata, dan kurang empati atau kepekaan sosial karena otaknya terbiasa menerima rangsangan instan.

Deteksi Dini: Tanggung Jawab Bersama

Dalam wawancara dengan beberapa guru PAUD menganjurkan orang tua perlu melakukan deteksi dini juga terhadap perubahan perilaku anak, terutama jika anak mulai menunjukkan tanda-tanda seperti:

·Kesulitan dan enggan berinteraksi atau saat ditanyakan, hanya diam;

·Anak sering tanpa sadar menggerakan jari-jarinya seolah memperagakan scrolling tontonan yang ada di media sosial;

·Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi ada unsur-unsur kekerasan verbal dan kosa kata yang tidak lazim didengar dalam interaksi sehari-hari;

·Sulit fokus dan memahami instruksi di sekolah;

·Sering marah tanpa sebab (tantrum dan sering bad mood);

·Mengulang adegan kekerasan saat bermain dengan teman sebaya;

·Susah tidur atau mimpi buruk;

·Kecanduan menonton video pendek;

·Sulit manajemen emosi;

·Halusinasi

Jika anak anda terdapat gejala-gejala di atas, maka perlu menghentikan segera screen time dan menganti dengan aktifitas edukatif untuk anak. Jika gejalanya sangat berat, lebih baik konsultasikan ke psikolog anak dan dokter tumbuh kembang anak untuk penanganan selanjutnya.

Langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan antara lain: membatasi waktu bermain hp (maksimal 1 jam, di weekends), ketika menonton perlu ada pendampingan orang tua, menggunakan aplikasi parental control, orang tua menyeleksi dulu tontonan yang aman ditonton oleh anak, serta mengedukasi anak tentang mana konten yang baik dan tidak baik, jangan izinkan anak menonton YouTube Shorts. Lebih bagus lagi, jika anak dialihkan dengan berbagai aktivitas bermain edukatif sehingga mengabaikan bermain hp.

Oleh: Melisa Arisanty, Yasir Riady

Tidak ada komentar