Uang Kuliah: untuk Kampus atau untuk Mahahasiswa?

lusius-sinurat
By -
0
FORMOSA NEWS -  Kabar melonjaknya uang kuliah tunggal (UKT) pada PTN kembali mengisi ruang pemberitaan di media. 

Lonjakan besaran UKT yang mencapai puluhan persen dibandingkan tahun sebelumnya menimbulkan tanda tanya mengapa terjadi kenaikan tersebut.

Disadari atau tidak kenaikan drastis yang terjadi berkaitan dengan keinginan dari sejumlah PTN untuk alih status kelembagaan menjadi berbadan hukum. Menjadi badan hukum adalah impian sebagian besar PTN dikarenakan dengan status tersebut, terdapat tambahan kewenangan otonom di bidang akademik maupun nonakademik. 

Salah satunya kewenangan dimaksud berupa hak untuk menetapkan besaran penghasilan sendiri atau remunerasi tanpa intervensi pihak di luar kampus.

Polemik kenaikan UKT akhirnya mengerucut menjadi dua pendapat, yaitu opini yang mewakili suara kampus serta opini yang mewakili kepentingan mahasiswa. Dari sisi kampus arus utama opini merujuk pada isu terkait kesejahteraan tenaga pendidik.

Kenaikan UKT adalah salah satu alasan agar kualitas pendidikan tinggi di tanah air menjadi lebih bermutu. Sebaliknya dari sisi mahasiswa pun berargumen bahwa kenaikan uang kuliah yang ditanggung menjelma sebagai beban tambahan bagi orang tua mahasiswa.

Terlepas dari pendapat mana yang lebih logis, selayaknya diperlukan titik temu atas perbedaan pendapat yang muncul. Sebuah pertanyaan apakah kedua suara yang berlawanan tidak bisa diselaraskan? Jawabannya tentu bisa.

Memberikan penghasilan yang layak bagi pendidik sekaligus mengerem kenaikan UKT sangat mungkin dilakukan.

Untuk mempertemukan kedua pendapat tersebut dapat dilakukan melalui kajian secara mendalam terhadap dua topik, yaitu masalah aset serta struktur belanja pada PTN.

Aset merupakan titik fokus pertama pada kekisruhan yang muncul. Aset bagai pedang bermata dua, bisa menjadi beban sekaligus berpotensi menjadi sumber pendapatan. 

Bagi sebagian besar PTN, besarannya aset yang dikuasai terutama aset tanah adalah beban berat yang harus diterima.

Memegang amanah berupa aset tanah yang luas adalah salah satu kelebihan PTN dibandingkan dengan PTS. 

Hanya saja ketika berbicara mengenai tanah sebagai faktor produksi, ternyata bagi PTS dengan aset tanah yang minimalis malah menjadi sebuah berkah tersendiri.

PTS mampu mengoptimalkan tanah yang dimiliki untuk penyelenggaraan pendidikan. Ciri khas pada PTS adalah lokasi gedung perkuliahan yang mengumpul, dengan struktur bangunan vertikal, dan memiliki fasilitas tambahan non pendidikan yang terbatas.

Hanya sedikit PTS mengalokasikan lahan khusus untuk taman, kolam, ataupun prasarana untuk tujuan estetika. 

Memang dari sisi keindahan kurang menarik utuk dilihat, tetapi secara efisiensi penyelenggaraan layanan PTS akan memiliki struktur pembentuk harga yang lebih efisien.

Luasan lahan pada PTN kontras dengan yang terjadi pada PTS. Sebuah PTN bisa mengelola lahan hingga puluhan bahkan ratusan hektar. Akibat lahan yang begitu luas, pola pembangunan gedung pada PTN pun cenderung divergen dibandingkan pada PTS.

Alasan yang mendasari salah satunya adalah sebagai fungsi pengamanan atas lahan yang dikuasai. Dengan adanya gedung menyebar di lahan yang dikuasai maka akan mengurangi potensi pengambil alih lahan oleh pihak lain.

Sayangnya, terdapat beban tambahan yang akhirnya muncul atas pola pembangunan tersebut. Biaya operasional maupun pemeliharaan pun meningkat. Contoh beban yang akhirnya timbul adalah ketersediaan personel di setiap gedung untuk menjaganya setiap saat. Seandainya sejumlah gedung mengumpul dengan struktur vertikal maka kebutuhan personel untuk menjaga bisa diminimaliasi jumlahnya dikarenakan hanya dibutuhkan penjaga pada lantai dasar bangunan.

Kelebihan lain atas luasnya lahan yang dikelola adalah tersedianya berbagai fasilitas tambahan yang menjadi nilai tambah PTN. Berbagai taman, kolam, dan berbagai ornamen yang menarik bisa disisipkan di antara sela-sela gedung perkuliahan. 

Hanya saja perlu diingat bahwa keberadaan berbagai fasilitas tersebut bukanlah gratis. Ada biaya tambahan yang dikeluarkan agar fungsi fasilitas tersebut tetap beroperasi sebagaimana mestinya.

Ketersediaan berbagai fasilitas tambahan yang ada atau beban pemeliharaan aset yang dikuasai, merupakan alasan mengapa dibutuhkannya pemberdayaan aset. 

Pemberdayaan aset bukan dimaknai bahwa aset yang dikuasai harus memberikan kontribusi menguntungkan bagi institusi, melainkan lebih kepada meminimalisasi beban yang ditanggung kampus untuk memelihara aset yang dikuasai.

Sehingga keberadaan fasilitas tambahan yang ada bukan menjadi beban mahasiswa melalui UKT namun aset yang dikuasai mampu memberikan hasil agar beban operasionalnya dapat dibiayai dari pendapatan atas aset tersebut. 

Di sinilah perlunya manajemen kampus untuk kreatif mencari mitra kerja sama dalam mengelola lahan dengan tujuan beban yang selama ini dialihkan ke mahasiswa mendapatkan alternatif lain dalam membiayainya.

Permasalahan selanjutnya berkaitan dengan struktur belanja pada PTN. Selama ini perguruan tinggi mengalokasikan sekitar 40% dari pendapatan yang diterimanya untuk membiayai remunerasi. Sedangkan untuk kebutuhan operasional maupun pengembangan layanan dialokasikan sebesar 60%.

Sebenarnya tidak ada ketentuan tertulis berapa porsi besaran remunerasi yang ideal, namun ketika menyandingkan dengan praktik pada sektor kesehatan maka angka 40% menjadi sebuah kesepakatan. 

Pada sektor kesehatan, besaran jasa pelayanan/jasa medis sebesar 40% dari tarif yang dibayarkan oleh pasien.

Proporsi tersebut yang kemudian menjadi acuan mengenai pembagian remunerasi pada PTN. 

Jika terdapat keinginan untuk memberikan penghasilan yang layak kepada para pendidik maka terdapat beberapa alternatif yang bisa dipilih, yaitu :
  • Menaikkan besaran pendapatan PTN,
  • Menggunakan porsi belanja remunerasi lebih dari 40%, atau
  • Mengurangi jumlah pegawai (khususnya pegawai nonpendidik atau supporting).
Alternatif pertama paling mudah dilakukan mengingat dengan menaikkan UKT maka pendapatan pun akan meningkat. Peningkatan pendapatan akan menambah alokasi yang digunakan untuk membiayai remunerasi.

Selain dengan menaikkan UKT, cara lain yang bisa ditempuh adalah menambah kelas-kelas baru sebagai pendongkrak kenaikan pendapatan. Kedua cara menaikkan pendapatan bukan hal yang bebas tantangan. 

Kenaikan UKT pasti akan diwarnai dengan rasa ketidakpuasan di kalangan mahasiswa sedangkan menambah kelas baru akan linier dengan tambahan sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan kelas tersebut.

Tambahan kelas baru akhirnya akan jadi siklus bahwa kenaikan pendapatan dari kelas tersebut akan mendorong penambahan jumlah pegawai baru, selanjutnya akan mengembalikan besaran remunerasi yang diterima ke angka semula karena jumlah pembaginya bertambah banyak.

Alternatif kedua, yaitu menaikkan porsi belanja lebih dari 40%, terlihat mudah tetapi konsekuensi pengurangan belanja untuk operasional dan layanan akan segera terlihat oleh masyarakat. Mungkin di antara kita pernah mengamati kondisi kampus yang catnya kusam atau sarana perkuliahan yang tidak terawat, fakta tersebut adalah dampak dari pengurangan belanja operasional di sebuah kampus.

Sebenarnya pengurangan belanja operasional bisa ditempuh dengan otomasi layanan pada PTN. Pada dunia kesehatan, SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) sudah menjadi sebuah kebutuhan sedangkan pada dunia pendidikan masih terdapat sejumlah perguruan tinggi yang belum memiliki SIM terintegrasi.

SIM terintegrasi pada perguruan tinggi akan menggabungkan seluruh aplikasi yang selama ini ada menjadi sebuah aplikasi tunggal dalam layanan PTN. Konsep ideal SIM pada perguruan tinggi seharusnya mencakup mulai dari layanan mahasiswa, penggunaan sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan aset, hingga perhitungan capaian kinerja para pegawai.

Praktis SIM terintegrasi akan memangkas biaya operasional termasuk mengurangi beban penyelesaian tugas administrasi yang selama ini dilakukan secara manual dan berulang. Hasil dari efisiensi pada belanja operasional bisa dialihkan untuk peningkatan kesejahteraan para pendidik.

Alternatif terakhir berkaitan dengan restrukturisasi pegawai khususnya non pendidik atau tenaga pendukung. 

Opsi ini adalah hal yang secara teori mudah diucapkan namun susah untuk dipraktikkan. Hal yang menyebabkan restrukturisasi pegawai menjadi susah dikarenakan ada unsur "perasaan" yang akan mempengaruhi jiwa si pengambil kebijakan. 

Alternatif kedua dan ketiga merupakan alternatif yang saling berkaitan satu sama lain. Otomasi layanan akan berkorelasi dengan jumlah pegawai yang dibutuhkan. 

Semakin manual sebuah pekerjaan dilakukan maka semakin banyak pegawai yang diperlukan, sebaliknya semakin otomatis sebuah pekerjaan maka kebutuhan pegawai bisa ditekan.

Sebagai sebuah institusi akademik, seharusnya PTN mampu untuk memprioritaskan pengembangan SIM terintegrasi untuk peningkatan layanan dibandingkan untuk tetap menjadi sebuah institusi "padat karya".

Nah, bagi manajemen PTN perlu melakukan benchmarking ke PTS mengenai struktur biaya yang menjadi penentu besaran uang kuliah. PTN saat ini masih sebagai primadona akibat "branding" yang melekat di benak masyarakat. Tapi apakah akan selamanya branding tersebut menjadi pemikat?

Banyak merek ternama di dunia yang akhirnya mengalami masa "declining" setelah sekian waktu menjadi penguasa pasar. Sebelum hal tersebut terjadi, yuk kita bedah struktur belanja pada PTN masing-masing. 

Mana kelompok belanja yang penting dan mendesak serta mana kelompok belanja yang bisa ditunda atau diefisiensikan. Tujuannya tentu saja agar PTN menjadi sebuah institusi yang mengayomi semua pihak, prima terhadap mahasiswa serta asyik bagi tenaga pendidik.

Penulis: Kurniawan Budi Irianto
editor : Muti Amanda

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)