Sementara seseorang disebut tolol karena ia sebenarnya sudah tahu kalau tindakannya salah, tapi tetap saja ia lakukan. Seringkali, ia malah ngotot membenarkan tindakannya itu.
Contoh, "Eh, kawan, sudah tahu kau hujan deras dan jalanan lagi banjir besar, tapi kamu kok nekad menerjang dengan sepeda motormu. Sekarang rasainlah, motormu mogok dan gak bisa on lagi."
Menghadapi orang bodoh
Jauh lebih mudah berhadapan dengan orang bodoh daripada orang tolol. Namun lebih pusing lagi menghadapi orang bodoh yang sekaligus tolol.
Ini seperti kau baru pindah dari kota di Jawa/Bali ke kota Medan. Kamu akan terkejut tentang kebiasaan masyarakatnya.
Saya enggak mau bilang orang Medan itu bodoh atau tolol, tapi kamu akan melihat hal-hal bodoh yang sekilas terlihat tolol di kota yang cuacanya super panas ini.
Mungkin saja kau takut begitu mendarat di KNIA. Travel resmi dan tak resmi akan berlomba mencari penumpang, bahkan sampai menarik-narik kopermu.
Mereka tak peduli dengan citra kita Medan. Para driver itu lebih mengatakan "Welcome to my car" daripada "Welcome to Medan".
Tak peduli dengan citra kotanya
Begitulah cara warga Medan. Mereka tak rela menjadi citra kotanya. Hal terpenting, ya cari duit dulu. Enggak apa-apa kalau harus berantem rebutan calon penumpang.
Bagi sebagian besar warga Medan, hak selalu mendahului kewajiban, "Yang penting aku dapat penumpang dulu. Nantilah di mobil kuceritakan tentang kota Medan."
Warga super-pragmatis
Begitulah pragmatisme sangat mendominasi perilaku warga Medan. Saat wawancara kerja mereka akan tanya gaji dulu. Sangat jarang orang bertanya teknis pekerjaannya setelah ia diterima.
Itu karena warga Medan lebih suka digaji dulu, baru kerja. Bukan sebaliknya.
Maka kalau ada pekerjaan yang bersifat temporal anda tawarkan ke teman anda, maka ia pasti akan memulai percakapan dengan pertanyaan pragmatis tadi, "Berapa bayarnya, bang?"
Bicara hiperbolis
Begitu masuk ke kota, dan mulai bercengkrama dengan orang lokal, kau akan terbiasa mendengar "cakap tinggi" alias bicara bombastis, hiperbolis.
Mulailah membiasakan diri dengan kalimat berikut: "Benar, akupun pernah mengalami hal ke' gitu"; "Ah, kalau bagi orang Medan, hal ke' gitu gampang kali pun, bro; "Ini bukan cakap sombong, kalau istilah Medan apapun bisa diurus asal ada cuan"; dst.
Perlahan tapi pasti. Awalnya anda akan mengagumi anak-anak muda kota ini. Diam-diam anda akan menyinpulkan dalam otak anda, 'Hebat bener orang Medan ini. Semua orang kayaknya serba tahu deh.'
Tapi tak lama berselang, satu hingga dua bulan anda bergaul dengan Medan, kesimpulan anda akan berubah 180 derajat.
Di otak anda berkecamuk rasa bingung dan frustasi karena bergaul lebih lama dengan orang Medan itu ibarat pergi berdua ke hutan belantara.
Saat tersesat di dalam hutan, ia berkali-kali mengatakan kalau ia hafal jalan keluar. Faktanya ia hanya sok tahu alias tolol, sebab selama 5 jam kalian berdua tak berhasil menemukan jalan keluar. Intinya kalian dua pun sama-sama tersesat.
Terlambat itu pertanda dihormati
Jangan cerita soal waktu, apalagi soal pentingnya tepat waktu dengan warga Medan. Sebab, bagi warga Medan, terlambat datang adalah sebuah kehormatan.
Sementara ditunggu karena terlambat merupakan penghargaan diri yang sangat tinggi, "Ternyata aku,dibutuhkan orang-orang ini."
Mereka hanya on time kalau di sekolah, gereja (kadang juga senang terlambat), atau saat boker ke toilet saat kebelet.
Jangankan ke pertemuan informal, jadwal masuk kerja pun sering dilanggar. Hal ini diakibatkan setiap orang Medan punya kemampuan otomatis dalam mengarang alasan untuk terlambat.
Makanya jangan sekali-kali anda membuat janji dengan 'orang sini'. Awal-awal di Medan saya sering juga jadi korban. Janji ketemu orang jam 5 sore, eh orang yang mau ketemu malah baru datang jam 9 malam.
Kalau arti nornal "on the way" itu berarti sedang di jalan, maka bagi orang Medan, OTW justru berarti "semoga saya jadi kesana".
Kebiasaan macam ini akhirnya membuat kita ragu, "(Si) apa yang dihargai orang di kota ini, kecuali kepentingannya sendiri?"
Manusia rasa dewa
Warga kota Medan itu gak kayak orang pada umumnya. Mereka unik. Bak dewa, mereka adalah quasi pemilik semesta.
Lihatlah, mayoritas warga Medan seakan-akan sudah tahu segala hal, tapi serentak ia tidak tahu apa-apa (bodoh).
Kadangkala mereka tahu dirinya salah, tapi berpura-pura benar. Konsekuensinya, dalam hal waktu misalnya, kita yang datang lebih awal atau tepat waktu justru akan disalahkan.
Karena kebiasaan orang Medan untuk ditunggu, maka mereka pun sangat toleran dengan orang yang datang terlambat "Tapaima ma tokkin nari (Ntar aja dimulainya. Kita tunggu bentar lagi)," kata mereka.
Berpolitik dengan berbagai intrik
Bulan Februari lalu, saat pemilu, mayoritas kaum lelaki akan ikut ambil bagian, walau sekedar kongkow hingga larut malam di kedai kupie Aceh.
Anda yang bukan orang Medan, pada awalnya akan berpikir kalau bicara politik, orang Medan lah jagonya. Tak berhenti di situ, anda juga akan terpesona dengan kehebatan mereka saat mengupas strategi capres atau caleg yang ikutan berkontestasi.
Kini, menjelang pilkada, orang-orang Medan mulai marak lagi bicara politik. Sembari menawarkan diri jadi tim pemenangan, para politisi lapo tuak ini juga akan berupaya meyakinkan cakada, bahwa ia kenal dengan banyak pejabat di pusat.
Docere berarti membimbing
Hal yang sama berlaku di bidang pendidikan. Dosen (Latin: docere = mengajar, membimbing) di Medan jauh lebih peduli dengan jumlah jurnal scopus, kutipan, dst dibanding kemampuannya mengajar dan membimbing mahasiswa.
Demi mengutamakan jabatannya, seorang dosen memberikan waktunya lebih banyak untuk menyelesaikan urusan administrasi daripada memberi waktu kepada mahasiswanya. Artinya ia rela kehilangan idealismenya.
Demi mempercepat kenaikan golongan, misalnya, ia memaksa diri mengejar cym dengan mengirimkan jurnal yang dibelinya ke penerbut jurnal scopus. Cum itu ia butuhkan untuk gelar profesor, hingga gajinya akan menukik.
Jangan beranggapan dia akan semakin pintar. Ilmunya tak bertambah, tapi gajinya yang bertambah. Maka kalau kau ingin berdiskusi dengannya, janganlah kecewa.
Sebab, setelah bergelar profesor ia akan mulai melirik jabatan di pemerintahan. Paling tidak dia akan mengincar jabatan sebagai Kadis Pensisikan dan Ristek.
Dengan uang yang dimilinya, ia berpeluang menang. Belum lagi disokong gelar akademiknya yang bejibun.
Kalau menang, ia tak perlu lagi keluar masuk kelas. Ia cukup membacakan pidato di setiap pertemuan dan rapat di dinasnya.
Setelah menjabat ia pun rajin memberikan pengarahan kepada para guru-guru tentang pentingnyala membaca buku. Walau pada kenyataannya sang kadis tak pernah sanggup membaca 1 buku dalam sebulan.
Pertemanan para pemain
Jangan cerita tentang proyek atau megaproyek dengan segala permainan korupsi di dalamnya. Orang Medan akan menjawab begini,
"Gak apa-apa kita bayar. Yang penting jatah kita jangan sampai diambil panitia dan pejabat terkait."
Emang kita salut dengan pertemanan orang medan. Setiap kelompok punya "katua". Hanya saja pergaulan model beginian seringkali pragmatis dan akan bubar bila pembagian jatah uang poyek tak sesuai.
Jangan sesekali kau cerita kenal salah seorang pejabat pemprov, pemkot atau pemkab, atau kepala daerah tertentu.
Anak Medan akan membungkamu dengan kata-kata telak, "Tetanggaku nya bupati itu, lae. Teman awak minum tuak pun selama puluhan tahun." Soal itu benar atau salah, ya sudah pasti salah.
Belum lagi saat anda berdiskusi dengan para 'katua-katua lokal' Medan. Supaya kebodohan dan ketololannya kelihatan, kau jangan pernah menggantung pembicaraan.
Kalau bicara buku, misalnya, tanya kepada katua-katua itu tentang siapa penulisnya, dalam bahasa apa, diterbitkan penerbit apa, dan isinya tentang apa?
Para katua ini tentu akan kelabakan. Bukan saja karena mereka bodoh, tapi mereka hanya sok tahu, dan sangat tolol dalam mengenal lawan bicaranya.
Mereka selalu bicara tentang ketololannya tanpa pernah ingin tahu siapa lawan bicaranya. Itu sebabnya mereka ini sering kena batunya: udah bodoh, tolol pula.
Tapi inilah kehebatan orang Medan. Kalau kalah debat, dia akan menjawab culas, "Tau nya aku lae. Itu nya maksudku. Cuma susah kalinya mulut awak bicara seperti lae."
Dahsyat bukan? Tentu, apalagi kita berhadapan dengan orang bodoh tapi tak mau belajar sekaligus seperti orang tolol yang tak ngerti apa-apa tapi selalu sok tau.
Pesan
Kalau tidak berhati-hati, orang cerdas sekalipun bisa ikutan bodoh bin tolol seperti orang Medan sendiri .
Kau akan larut dalam obrolan ngalor ngidul hingga lupa membaca buku atau megikuti berita di media.
Belum lagi ketika kau mengagumi ketololan mereka, tepat ketika mereka selalu mengatakan bahwa apa yang kau tahu mereka juga sudah tahu, dan apa yang kau alami mereka sudah duluan mengalaminya. Di sini, kau harus pintar menangkisnya. Ha ha ha.
Nah lu, seri 1-1 aja susah. Pontenmu akan tetap 0. Kau tak akan bisa berkutik, kecuali kau lakukan satu hal penting ini: Kau harus lebih cerdas dari mereka.
lusius-sinurat
Posting Komentar
0Komentar