"Asyiknya" jadi di Dosen di Era ini

lusius-sinurat
By -
0


FORMOSA NEWS, Opini - Semasa kuliah saya ingin jadi dosen. Alasan saya sederhana, tampaknya pekerjaan ini mudah, tapi mentereng dan terhormat. Nyatanya, dosen-dosen saya selalu tampak rapi dan ceria. Ya, ada juga sih dosen yang dicap killer dan menakutkan. 

Semua dosen tampak bahagia dan hidup tenang, seperti samudra yang membiru dan segar dari jauh tapi bergelombang dan badai di dalamnya. Kenyataannya, kehidupan seorang pengajar jauh dari aktivitas leha-leha

Selain tugas-tugas administratif yang banyak, di dalam kelas, seorang dosen harus melakukan sejumlah aksi. Terus terang, menjadi pengajar di korporat jauh lebih santai dan 'fun' ketimbang menjadi dosen, terutama pada kelas-kelas besar. Sembah sungkem saya untuk bapak ibu dosenku yang luar biasa.

Hari ini saya mendapati diri menjadi orang yang jauh lebih galak dari biasa. Ini adalah kelas kedua, jadi energi saya pun tidak sebanyak pagi tadi. Sedikit memberikan konteks, saya mengajar kelas dengan 50 mahasiswa non-sastra Inggris, mixed level (mostly low), ada beberapa yang mengulang semester. 

Nah masalahnya ada di mahasiswa tipe terakhir ini. Diam-diam saya menyebutnya kelompok ha ha ha (maafkan saya karena memberi label). 

Kelompok ini biasanya duduk di paling belakang, tenang, namun disconnected (tidak terhubung) dengan pelajaran di kelas. Aktivitas di kelas banyak dan beragam. 

Bahasa Inggris adalah mata kuliah praktis. Jadi saya hanya berbicara untuk mengarahkan mahasiswa dalam aktivitas-aktivitas tertentu. Penjelasan mengenai grammar pun sedikit, karena mereka diajak untuk memahami melalui aktivitas-aktivitas yang disediakan. Kalau boleh bilang, rencana pelajarannya gampang dan menyenangkan. Seharusnya demikian.

Sayangnya, "kelompok" ini seringkali tidak fokus dan malah asik sendiri dengan dunianya. Tidak berusaha untuk mengerti instruksi pengajar dan cepat menyerah. 

Saya mengatakan ini karena siang ini saya mendapati mereka malah bermain tik-tok atau membuka shopy. Dan clueless tidak tahu menahu akan apa yang terjadi di kelas. Tidakan mereka melihat usahaku untuk membuat mereka belajar dan bermain seperti Bobo?

Terimakasih pada Seneca yang mengingatkan kita harus fokus pada apa yang bisa kita kontrol, jadi saya tidak baper tadi. Saya cukup ingatkan mereka dan move on pada mahasiswa-mahasiswi yang mau belajar. 

Tapi setelah kelas berakhir, saya duduk diam. Saya sudah sangat berubah. Dulu saya ramah dan suka senyum. Sekarang saya ramah dan suka marah. Saya juga mendapati diri kecewa, sedih, dan kasihan. Kasihan pada mereka yang tidak mengerti pentingnya kelas saya. Kasian sama saya waktu melihat slip gaji (wakakaka). 

Saat menulis ini, saya berpikir apa yang harus saya lakukan kedepannya? Apakah saya harus menjadi seorang yang cerah ceria dan percaya sepenuhnya pada mereka? I mean, mereka sudah dewasa untuk menerima konsekuensi pilihan mereka. (Tidak lulus mata kuliah, tidak ada self development, tidak berani ngomong bahasa Inggris.). 

Ataukah diriku harus menjadi seorang yang galak dengan segala peraturan yang mendisiplinkan? (which is not 'me')

Bagaimanapun yang terjadi di kelas tadi tidak sepenuhnya salah mereka. Pasti banyak celah bagi saya untuk memperbaiki diri. Saya dua tahun lalu bukan lagi saya yang sekarang. 

Mereka juga yang membentuk saya, entah lebih galak, lebih ramah, lebih tidak baperan, lebih bodoamat-an atau lebih peduli. Intinya saya pun harus cepat belajar dan tanggap. Apapun itu saya percaya tantangan hari ini perlu ada karena saya disiapkan untuk tantangan di masa depan. 

Yah, begitulah hidup penuh liku-liku. Ada suka ada duka. Semua insan pasti pernah merasakannya. Sing with me! 😂


(Dosen di salah satu universitas di Jakarta)
Editor : Muti amanda 
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)