Gerakan Koin NU: Potret Filantropi Islam Tradisional dari Komunitas Pedesaan
![]() |
Illustrasi gambar, sumber: Gemini AI |
Gerakan Koin NU pertama kali muncul pada 2015 di Jetak, Pringanom, Sragen, dengan hanya 30 kotak penyimpanan koin dan berhasil mengumpulkan Rp450.000 dalam waktu 35 hari. Pada tahun yang sama, di Nanggerang, Sukabumi, dana sebesar Rp300 juta terkumpul hanya dalam satu tahun. Keberhasilan ini menjadikan gerakan tersebut fenomena nasional yang merangkul warga NU secara masif.
Gerakan ini dijalankan secara teknis dengan sistem button-up dari tingkat desa (Ranting) hingga ke pusat (PBNU). Koin disimpan di wadah sederhana seperti kaleng, kemudian dikumpulkan dan disetor secara bertahap ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam satu tahun, pengumpulan Koin NU di Provinsi Jawa Timur mencapai Rp2,9 miliar.
Sofuan Jauhari menjelaskan bahwa gerakan ini memiliki basis teologis yang kuat, seperti QS. Al-Hasyr ayat 9 dan hadis sahih riwayat al-Bukhari. Kedua teks ini menggambarkan nilai pengorbanan dan keikhlasan dalam memberi, bahkan oleh mereka yang sedang mengalami kesulitan. Selain itu, secara filosofis, gerakan ini menegaskan bahwa kedermawanan tidak harus menunggu kaya; nilai utama adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap sesama.
Secara historis, perhatian NU terhadap filantropi dapat ditelusuri hingga Anggaran Dasar NU, di mana disebutkan bahwa salah satu tujuan pendiriannya adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan membangun lembaga kesejahteraan sosial. Sejak Muktamar ke-31 di Boyolali, NU membentuk NU Care-LAZISNU sebagai lembaga resmi pengelola zakat, infaq, dan sedekah, sekaligus sebagai respons atas tantangan ketimpangan sosial di bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
Data terakhir menunjukkan bahwa warga NU (Nahdliyyin) mencakup sekitar 50,3% dari total umat Islam di Indonesia. Jika setiap anggota menyumbangkan Rp1.000 per bulan, potensi dana filantropi mencapai Rp104,2 miliar. Model ini disebut oleh Sofuan Jauhari sebagai "filantropi proletar," yaitu kegiatan kedermawanan oleh masyarakat kelas bawah yang didukung oleh kekuatan jumlah anggota dan semangat keikhlasan.
Dalam konteks perbandingan, NU mengusung gaya filantropi tradisional yang kontras dengan gaya modern berbasis digital yang umum ditemui di kalangan perkotaan. Hal ini mencerminkan adanya "kesenjangan digital" dalam metode pengumpulan donasi. Meski demikian, gerakan Koin NU membuktikan bahwa komunitas pedesaan pun dapat memiliki kontribusi besar dalam membangun kemandirian ekonomi berbasis nilai-nilai keislaman.
Melalui gerakan ini, warga NU tak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dari upaya peningkatan kesejahteraan. Mereka membangun rumah sakit, mendukung pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan penanggulangan bencana. Filantropi NU ini, sebagaimana dijelaskan oleh Sofuan Jauhari, bukan hanya bertumpu pada agama, tapi juga pada filosofi "ghina al-nafs" (kekayaan batin), serta nilai sosial pedesaan seperti gotong royong dan tepo seliro.
Dengan basis epistemologis yang solid, Sofuan Jauhari menekankan bahwa Gerakan Koin NU adalah model filantropi Islam yang layak diperhatikan oleh akademisi dan praktisi. Meskipun masih menghadapi tantangan administratif dan distribusi manfaat, gerakan ini telah memberikan wajah baru bagi filantropi Islam di Indonesia: dari, oleh, dan untuk rakyat kecil.
Tidak ada komentar