![]() |
Illustrasi (nasabamedia.com) |
FORMOSA NEWS - Banyak guru mengalami kesulitan untuk membumikan ilmunya. Ada kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman mereka. Terutama guru pemula. Mereka kerap masih tinggal di "langit" ketujuh (merasa dirinya masih seorang mahasiswa) dan kesulitan "down to earth".
Secara tidak sadar mereka telah dididik selama kurang lebih 4 tahun di FKIP, dan hasilnya mereka menjadi sarjana yang menjauhkan ilmu pengetahuan dari realitas yang terjadi setiap hari. Kita bisa maklum, terutama saat tuntutan kurikulum kerap memporak-porandakan pikiran mereka.
Seturut kurikulum, tumpukan teori dari setiap bidang studi pun harus mereka bebankan kepada siswa, tanpa ada waktu untuk menerapkan, bahkan tak membuka ruang untuk mempertanyakan muatannya.
Kini, sangat jarang kita temukan guru Matematika yang menjelaskan bahwa "titik koordinat" dalam garis bilangan itu sebagai titik berangkat (start) kita dalam mencapai tujuan. Tak ada lagi guru yang kreatif mengatakan bahwa "jembatan di atas sungai" itu merupakan titik 0,0 dalam silang koordinat dengan jalan yang melintasinya.
Tak ada lagi guru Bahasa Indonesia yang menyempatkan diri menjelaskan bahwa tata kalimat S-P-O-K itu sebagai cara subyek memperlakukan obyek dalam hidup nyata, yang satu memeperlakukan yang lain. Juga sangat jarang kita temukan seorang dosen Ekonomi yang mampu menjelaskan kaitan antara "harga sebuah barang" dalam korelasinya dengan kebiasaan inang-inang di pajak (Medan= pasar) membombardir penjual dengan tawaran yang sangat rendah.
Masih banyak contoh lain yang menjelaskan betapa para pendidik itu seringkali tak mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang mereka ajarkan dalam kaitannya dengan pengalaman nyata atau dalam keseharian anak-anak didiknya. Itu sebabnya nilai rapor 9,8 atau IPK 3,99 menjadi tak ada korelasinya dengan hidup peserta didik.
Padahal salah satu tujuan orang belajar adalah agar ia mampu melihat realitas secara baru. Artinya, ia harus mampu mengubah paradigma anak didiknya dalam melihat dan memaknai realitas. Sebab bila pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, maka lulusan universitas semestinya harus mampu membantu masyarakat yang tak mampu mencicipi pendidikan formal di universitas dengan bantuan para sarjana itu.
Sayangnya, banyak lulusan sarjana justru merasa kikuk saat memasuki dunia kerja. Seorang bapak di Kabanjahe, Pak Sembiring bertutur tentang pengalamannya bekerja di pabrik tekstil. Sembiring adalah lulusan STM jurusan Mesin.
Kini, sangat jarang kita temukan guru Matematika yang menjelaskan bahwa "titik koordinat" dalam garis bilangan itu sebagai titik berangkat (start) kita dalam mencapai tujuan. Tak ada lagi guru yang kreatif mengatakan bahwa "jembatan di atas sungai" itu merupakan titik 0,0 dalam silang koordinat dengan jalan yang melintasinya.
Tak ada lagi guru Bahasa Indonesia yang menyempatkan diri menjelaskan bahwa tata kalimat S-P-O-K itu sebagai cara subyek memperlakukan obyek dalam hidup nyata, yang satu memeperlakukan yang lain. Juga sangat jarang kita temukan seorang dosen Ekonomi yang mampu menjelaskan kaitan antara "harga sebuah barang" dalam korelasinya dengan kebiasaan inang-inang di pajak (Medan= pasar) membombardir penjual dengan tawaran yang sangat rendah.
Masih banyak contoh lain yang menjelaskan betapa para pendidik itu seringkali tak mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang mereka ajarkan dalam kaitannya dengan pengalaman nyata atau dalam keseharian anak-anak didiknya. Itu sebabnya nilai rapor 9,8 atau IPK 3,99 menjadi tak ada korelasinya dengan hidup peserta didik.
Padahal salah satu tujuan orang belajar adalah agar ia mampu melihat realitas secara baru. Artinya, ia harus mampu mengubah paradigma anak didiknya dalam melihat dan memaknai realitas. Sebab bila pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, maka lulusan universitas semestinya harus mampu membantu masyarakat yang tak mampu mencicipi pendidikan formal di universitas dengan bantuan para sarjana itu.
Sayangnya, banyak lulusan sarjana justru merasa kikuk saat memasuki dunia kerja. Seorang bapak di Kabanjahe, Pak Sembiring bertutur tentang pengalamannya bekerja di pabrik tekstil. Sembiring adalah lulusan STM jurusan Mesin.
Ia telah 10 tahun bekerja di sebuah pabrik tekstil di Purwakarta. Lalu pada tauhun 2002 manager yang membawahinya sebagai kepala divisi mesin digantikan oleh seorang sarjana teknik mesin dari insititut teknologi terbaik di Sumut.
Suatu ketika mesin produksi bermasalah. Itu berarti target produksi akan berantakan pada hari itu. Si manager baru, yang sarjana teknik itu langsung memarahi Sembiring, karena kemacetan mesin produksi tak sinkron dengan teori yang ia pelajari.
Suatu ketika mesin produksi bermasalah. Itu berarti target produksi akan berantakan pada hari itu. Si manager baru, yang sarjana teknik itu langsung memarahi Sembiring, karena kemacetan mesin produksi tak sinkron dengan teori yang ia pelajari.
Setengah jam lebih sang manager memberi instruksi tentang apa yang harus dilakukan Sembiring berdasarkan teori yang ia pelajari. Sembiring tak melawan. Ia manggut-manggut pertanda setuju. Ia menuruti perintah si bos. Apa yang terjadi sesudahnya?
Mesin tetap bermasalah alias belum "pulih" seperti sediakala. Sembiring mencoba menawarkan solusi, "Pak, boleh saya memperbaiki mesin produksi ini dengan caraku?" tanyanya ke sang manajer dengan nada lembut. Si manager dengan berat hati mengamini kemauan Sembiring. Singkat kata, sembiring berhasil memperbaiki mesin dalam waktu yang sangat cepat. Kini mesin produksi itu kembali beroperasi seperti sebelumnya dan alur pekerjaan berjalan seperti sediakala.
Tak lama setelah mesin menyala, Sembiring dipanggil si manager, "Apa yang kau lakukan tadi? Kamu kok bisa memperbaiki mesin itu dengan cepat?" Dengan santai, Sembiring menjawab, "Saya hanya memperbaiki yang bagian yang rusak pak. Sementara bapak tadi menyuruh saya untuk mencari bagian mana yang rusak. Itu juga berdasarkan teori yang saya tak mengerti."
"Lantas apa kesalahan saya, bang Sembiring?" tanya sang manager dengan kalimat yang lebih sopan.
Sembiring hanya menjawab sekenanya, "Lain kali pak, kalau ada mesin rusak, bapak jangan terlalu sibuk mencari bagian mana yang rusak. Berdasarkan pengalaman saya, bila sebuah mesin bermasalah, maka itu tak lantas berarti seluruh mesin itu bermasalah. Hanya sebagiannya saja yang bermasalah. Karena saya menguasai mesin ini dan sudah 10 tahun menggunakannya, maka saya sudah menguasai setiap elemen di dalamnya. Maaf ya pak, ketika bapak masih kuliah, bapak hanya belajar tentang mesin. Sedangkan saya sudah biasa bekerja dengan mesin. Itu loh, pak."
Sang manager hanya terdiam. Ini pengalaman baru baginya. Tadinya, begitu lulus sarjana, ia merasa dirinya akan menjadi malaikat bagi perusahaan manapun yang menggunakan jasanya. Menurut anggapannya, ia akan diterima bekerja di pabrik manapun yang ia mau, karena pabrik itu membutuhkan kemampuannya. Tentu karena pabrik itu butuh seorang malaikat malaikan seperti dia, yang bisa meningkatkan produksi perusahaan mereka.
Mesin tetap bermasalah alias belum "pulih" seperti sediakala. Sembiring mencoba menawarkan solusi, "Pak, boleh saya memperbaiki mesin produksi ini dengan caraku?" tanyanya ke sang manajer dengan nada lembut. Si manager dengan berat hati mengamini kemauan Sembiring. Singkat kata, sembiring berhasil memperbaiki mesin dalam waktu yang sangat cepat. Kini mesin produksi itu kembali beroperasi seperti sebelumnya dan alur pekerjaan berjalan seperti sediakala.
Tak lama setelah mesin menyala, Sembiring dipanggil si manager, "Apa yang kau lakukan tadi? Kamu kok bisa memperbaiki mesin itu dengan cepat?" Dengan santai, Sembiring menjawab, "Saya hanya memperbaiki yang bagian yang rusak pak. Sementara bapak tadi menyuruh saya untuk mencari bagian mana yang rusak. Itu juga berdasarkan teori yang saya tak mengerti."
"Lantas apa kesalahan saya, bang Sembiring?" tanya sang manager dengan kalimat yang lebih sopan.
Sembiring hanya menjawab sekenanya, "Lain kali pak, kalau ada mesin rusak, bapak jangan terlalu sibuk mencari bagian mana yang rusak. Berdasarkan pengalaman saya, bila sebuah mesin bermasalah, maka itu tak lantas berarti seluruh mesin itu bermasalah. Hanya sebagiannya saja yang bermasalah. Karena saya menguasai mesin ini dan sudah 10 tahun menggunakannya, maka saya sudah menguasai setiap elemen di dalamnya. Maaf ya pak, ketika bapak masih kuliah, bapak hanya belajar tentang mesin. Sedangkan saya sudah biasa bekerja dengan mesin. Itu loh, pak."
Sang manager hanya terdiam. Ini pengalaman baru baginya. Tadinya, begitu lulus sarjana, ia merasa dirinya akan menjadi malaikat bagi perusahaan manapun yang menggunakan jasanya. Menurut anggapannya, ia akan diterima bekerja di pabrik manapun yang ia mau, karena pabrik itu membutuhkan kemampuannya. Tentu karena pabrik itu butuh seorang malaikat malaikan seperti dia, yang bisa meningkatkan produksi perusahaan mereka.
Perkenalan dan kerjasamanya dengan Sembiring justru berkata lain. Ia malah merasa diri sebagai alien yang hanya tahu teori memperbaiki mesin, tanpa mampu sungguh memperbaikinya. Begitulah yang terjadi. Sistem pendidikan kita yang jamak dengan berbagai teori ini dan itu, pada akhirnya tak sinergi dengan realitas di lapangan, di tempat kerja.
Lalu, apakah hal ini berarti bahwa pendidikan formal itu tak penting? Tentu saja penting. Pendidikan itu bahkan sangat penting. Hanya saja harus ada perubahan paradigma dari siapa saja yang berpendidikan.
Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka ia dijejali banyak teori dan minim praktik. Untuk itu penting dibangun kesadaran bahwa semakin banyak ia tahu maka semakin banyak pula hal yang ia tidak ketahui. Ini adalah gerbang bagi kerendahan hatinya.
Kedua, seseorang yang berpendidikan tinggi diandaikan tahu banyak hal. Kenyataan ini memiliki dua konsekuensi, yakni tak mau belajar lagi, dan semakin terpicu belajar sesuai tuntutan di lapangan.
Ketiga, bila di sekolah dan di kampus kita terbiasa belajar berbagai hal-hal secara ILMIAH, maka bergaullah agar kita sadar bahwa hidup selalu berjalan Ilmiah. Hal yang ilmiah selalu lahir dari fenomena yang alamiah. Dan itu hanya bisa dituntaskan dalam pergaulan dengan apa dan siapa saja.
Dengan cara inilah, seorang alumni perguruan tinggi yang bertumbuh dengan sistem hafalan saat mengikut perkuliahan akan semakin diperkaya, tepatnya ketika ia tetap membumi dan mampu membumikan ilmu pengetahuannya kedalam realitas sehari-harinya.
Teori dan realitas harus bersinergi. Kelebihan orang kuliahan itu terletak pada caranya memahami realitas, tepatnya kemampuannya menganalisa, mengaktualiasai dan mengkontekstualisasi realitas di sekitarnya.
Penulis: Lusius Sinurat, SS, M.Hum
Posting Komentar
0Komentar