Dalam
wacana pembangunan nasional, agraria selalu menempati posisi strategis. Tanah
bukan hanya aset ekonomi, melainkan ruang hidup, identitas kultural, sumber
ekologis, serta fondasi kedaulatan negara. Namun selama puluhan tahun, politik
agraria Indonesia masih menyisakan ketidakadilan struktural. Konsentrasi
penguasaan tanah, konflik lahan, marjinalisasi petani, serta komodifikasi ruang
hidup terus terjadi. Di sinilah urgensi rekonstruksi agraria menjadi nyata,
bukan sebagai jargon politik, tetapi sebagai agenda hukum dan konstitusional
untuk mewujudkan keadilan sosial.
Agraria
sebagai Mandat Konstitusi
Konstitusi
menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun praktiknya, frasa
“dikuasai oleh negara” kerap tereduksi menjadi legitimasi pemberian izin
eksploitasi kepada korporasi besar tanpa perlindungan memadai bagi masyarakat
lokal. Akibatnya, asas kemakmuran rakyat sebagaimana dikehendaki Pasal 33 UUD
1945 tidak tercapai secara substantif.
Rekonstruksi
agraria harus diawali dengan penegasan kembali fungsi sosial tanah. Tanah tidak
boleh hanya dilihat sebagai objek investasi dan akumulasi kapital, melainkan public
good yang tunduk pada prinsip keadilan distributif, prosedural, dan
restoratif.
Kegagalan
Hukum Agraria
Sejumlah
regulasi agraria masih mencerminkan pendekatan sektoral. UUPA 1960 memang
menjadi “roh” kebijakan agraria, namun regulasi sektoral seperti kehutanan,
perkebunan, dan pertambangan sering menyimpang dari semangat reforma agraria.
Banyak
konflik agraria muncul akibat tumpang tindih perizinan, ketimpangan penguasaan lahan,
dan lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat. Kondisi ini memperlihatkan
kegagalan hukum agraria dalam menjamin kepastian hukum sekaligus keadilan
sosial.
Contoh
Kasus dan Putusan Pengadilan
1.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (Hutan Adat Bukan Lagi Hutan
Negara)
Kasus
ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama komunitas
adat terkait status hutan adat. Selama puluhan tahun, pemerintah memasukkan
hutan adat ke dalam kategori “hutan negara”, sehingga memudahkan pemberian izin
konsesi kepada perusahaan kehutanan.
Putusan
MK 35/2012 menyatakan bahwa:
- “Hutan adat bukan
lagi hutan negara, melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.”
Putusan
ini merupakan tonggak penting rekonstruksi agraria karena mengembalikan hak
ulayat masyarakat adat yang selama ini dikebiri. Namun implementasinya di
lapangan masih problematis: banyak daerah belum melakukan pengukuhan masyarakat
adat maupun penetapan wilayah adat.
2.
Putusan PTUN Medan No. 101/G/2015/PTUN-MDN – Sengketa Lahan dengan PTPN II di
Sumatera Utara
Kasus
ini berasal dari konflik panjang antara masyarakat dengan PTPN II terkait HGU
yang dinilai telah habis masa berlakunya namun masih dikuasai dan digunakan
untuk perkebunan.
PTUN
Medan mengabulkan gugatan sebagian masyarakat dengan menyatakan bahwa
perpanjangan HGU tidak sah karena pemerintah tidak melakukan verifikasi yang
memadai dan mengabaikan keberadaan masyarakat yang menguasai tanah secara
turun-temurun.
Signifikansi
putusan:
- Pengadilan menegaskan pentingnya
verifikasi faktual dan keterlibatan masyarakat sebelum memperpanjang HGU.
- Prinsip legal standing
masyarakat atas tanah yang telah dikuasai dan digarap dalam waktu lama
diakui sebagai bagian dari perlindungan hukum.
Kasus
ini memperlihatkan bagaimana ketimpangan akses lahan akibat kekuasaan ekonomi
perusahaan dapat dikoreksi melalui proses peradilan.
Rekonstruksi
Agraria Berbasis Paradigma Keadilan
Rekonstruksi
agraria bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi transformasi paradigma.
Setidaknya ada empat prinsip:
1.
Keadilan distributif
Prioritas
diberikan kepada masyarakat kecil, petani, dan masyarakat adat. Redistribusi
tanah harus disertai akses modal, teknologi, dan pendampingan.
2.
Keadilan prosedural
Putusan
MA No. 179 K/TUN/2017 menegaskan bahwa izin tanpa partisipasi masyarakat adalah
tidak sah. Proses perizinan, pemetaan batas, dan penyelesaian sengketa harus
transparan dan partisipatif.
3.
Penguatan pengakuan hak masyarakat adat
Putusan
MK 35/2012 menjadi dasar konstitusional kuat untuk mengembalikan hak-hak ulayat
dan menolak klaim negara atas wilayah adat.
4.
Keadilan ekologis
Penentuan
peruntukan lahan harus berbasis pada keberlanjutan lingkungan. Tanpa itu,
keadilan sosial tidak dapat terwujud karena kerusakan ekologis selalu menimpa
kelompok paling rentan.
Peran
Negara dan Agenda Pembaruan Hukum
0 Komentar