Rekonstruksi Agraria Dalam Mewujudkan Keadilan Sosial



Oleh: Jordan Valentino, Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara

Dalam wacana pembangunan nasional, agraria selalu menempati posisi strategis. Tanah bukan hanya aset ekonomi, melainkan ruang hidup, identitas kultural, sumber ekologis, serta fondasi kedaulatan negara. Namun selama puluhan tahun, politik agraria Indonesia masih menyisakan ketidakadilan struktural. Konsentrasi penguasaan tanah, konflik lahan, marjinalisasi petani, serta komodifikasi ruang hidup terus terjadi. Di sinilah urgensi rekonstruksi agraria menjadi nyata, bukan sebagai jargon politik, tetapi sebagai agenda hukum dan konstitusional untuk mewujudkan keadilan sosial.

Agraria sebagai Mandat Konstitusi

Konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun praktiknya, frasa “dikuasai oleh negara” kerap tereduksi menjadi legitimasi pemberian izin eksploitasi kepada korporasi besar tanpa perlindungan memadai bagi masyarakat lokal. Akibatnya, asas kemakmuran rakyat sebagaimana dikehendaki Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai secara substantif.

Rekonstruksi agraria harus diawali dengan penegasan kembali fungsi sosial tanah. Tanah tidak boleh hanya dilihat sebagai objek investasi dan akumulasi kapital, melainkan public good yang tunduk pada prinsip keadilan distributif, prosedural, dan restoratif.

Kegagalan Hukum Agraria

Sejumlah regulasi agraria masih mencerminkan pendekatan sektoral. UUPA 1960 memang menjadi “roh” kebijakan agraria, namun regulasi sektoral seperti kehutanan, perkebunan, dan pertambangan sering menyimpang dari semangat reforma agraria.

Banyak konflik agraria muncul akibat tumpang tindih perizinan, ketimpangan penguasaan lahan, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat. Kondisi ini memperlihatkan kegagalan hukum agraria dalam menjamin kepastian hukum sekaligus keadilan sosial.

Contoh Kasus dan Putusan Pengadilan

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara)

Kasus ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama komunitas adat terkait status hutan adat. Selama puluhan tahun, pemerintah memasukkan hutan adat ke dalam kategori “hutan negara”, sehingga memudahkan pemberian izin konsesi kepada perusahaan kehutanan.

Putusan MK 35/2012 menyatakan bahwa:

  • “Hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Putusan ini merupakan tonggak penting rekonstruksi agraria karena mengembalikan hak ulayat masyarakat adat yang selama ini dikebiri. Namun implementasinya di lapangan masih problematis: banyak daerah belum melakukan pengukuhan masyarakat adat maupun penetapan wilayah adat.

2. Putusan PTUN Medan No. 101/G/2015/PTUN-MDN – Sengketa Lahan dengan PTPN II di Sumatera Utara

Kasus ini berasal dari konflik panjang antara masyarakat dengan PTPN II terkait HGU yang dinilai telah habis masa berlakunya namun masih dikuasai dan digunakan untuk perkebunan.

PTUN Medan mengabulkan gugatan sebagian masyarakat dengan menyatakan bahwa perpanjangan HGU tidak sah karena pemerintah tidak melakukan verifikasi yang memadai dan mengabaikan keberadaan masyarakat yang menguasai tanah secara turun-temurun.

Signifikansi putusan:

  • Pengadilan menegaskan pentingnya verifikasi faktual dan keterlibatan masyarakat sebelum memperpanjang HGU.
  • Prinsip legal standing masyarakat atas tanah yang telah dikuasai dan digarap dalam waktu lama diakui sebagai bagian dari perlindungan hukum.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana ketimpangan akses lahan akibat kekuasaan ekonomi perusahaan dapat dikoreksi melalui proses peradilan.

Rekonstruksi Agraria Berbasis Paradigma Keadilan

Rekonstruksi agraria bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi transformasi paradigma. Setidaknya ada empat prinsip:

1. Keadilan distributif

Prioritas diberikan kepada masyarakat kecil, petani, dan masyarakat adat. Redistribusi tanah harus disertai akses modal, teknologi, dan pendampingan.

2. Keadilan prosedural

Putusan MA No. 179 K/TUN/2017 menegaskan bahwa izin tanpa partisipasi masyarakat adalah tidak sah. Proses perizinan, pemetaan batas, dan penyelesaian sengketa harus transparan dan partisipatif.

3. Penguatan pengakuan hak masyarakat adat

Putusan MK 35/2012 menjadi dasar konstitusional kuat untuk mengembalikan hak-hak ulayat dan menolak klaim negara atas wilayah adat.

4. Keadilan ekologis

Penentuan peruntukan lahan harus berbasis pada keberlanjutan lingkungan. Tanpa itu, keadilan sosial tidak dapat terwujud karena kerusakan ekologis selalu menimpa kelompok paling rentan.

Peran Negara dan Agenda Pembaruan Hukum

Negara perlu melakukan harmonisasi regulasi agraria agar tidak saling bertentangan, memperkuat administrasi pertanahan berbasis digital, dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat dan berkeadilan. Selain itu, penguatan lembaga reforma agraria yang independen patut dipertimbangkan untuk menghindari intervensi politik jangka pendek.

Posting Komentar

0 Komentar