Subscribe Us

Breaking News

Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja Meningkat, Belasan Tewas dan Ratusan Ribu Mengungsi

Gambar: Facebook Chatchak Ratsamikaeo


FORMOSA NEWS - Ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja terus meningkat sejak 24 Juli 2025, menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan gelombang pengungsian massal. Serangkaian serangan artileri dan roket dari pihak militer Kamboja ke wilayah Thailand memicu respons balasan dari militer Thailand yang melibatkan serangan udara menggunakan jet tempur F-16.

Laporan dari media internasional seperti Reuters dan AP News menyebutkan bahwa sedikitnya 33 orang tewas akibat bentrokan ini, termasuk 21 warga sipil. Salah satu insiden paling mematikan terjadi di Provinsi Si Sa Ket, Thailand, di mana tembakan artileri menghantam sebuah SPBU yang ramai oleh keluarga warga sipil. Seorang pria Thailand bernama Komsan Prachan mengaku kehilangan istri, dua anak, dan teman anaknya dalam serangan tersebut. Ia menyebut peristiwa itu sebagai pembunuhan, bukan perang.

Di wilayah Kamboja, beberapa provinsi seperti Oddar Meanchey dan Pursat juga terkena dampak serangan balasan dari Thailand. Pemerintah kedua negara saling tuding sebagai pihak yang memicu konflik. Thailand menuduh Kamboja melanggar batas wilayah dan menyerang tanpa peringatan, sementara Kamboja menyatakan bahwa militer Thailand melakukan agresi yang merusak fasilitas sipil.

Hingga hari ini, lebih dari 130 ribu warga Thailand telah dievakuasi dari wilayah perbatasan, sementara di Kamboja, jumlah pengungsi mencapai sekitar 70 ribu orang. Banyak fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadah, dan rumah sakit mengalami kerusakan. Beberapa di antaranya bahkan tak dapat beroperasi karena berada dalam jangkauan tembakan.

Pemerintah Thailand telah menurunkan status hubungan diplomatik dengan Kamboja, menarik duta besar dari Phnom Penh dan memerintahkan penutupan pos-pos lintas batas. Langkah serupa juga dilakukan Kamboja yang mengajukan pengaduan ke Dewan Keamanan PBB dan meminta perlindungan internasional atas wilayahnya.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang saat ini menjabat kembali, telah mendesak kedua negara agar segera melakukan gencatan senjata. Ia menyatakan bahwa jika kekerasan terus berlangsung, hubungan dagang Amerika dengan kedua negara akan dipertimbangkan ulang. Tekanan diplomatik juga datang dari PBB, Uni Eropa, dan negara-negara ASEAN, termasuk Malaysia yang telah menawarkan diri menjadi mediator.

Pemerintah Malaysia akan menjadi tuan rumah pertemuan damai antara pejabat tinggi Thailand dan Kamboja pada awal pekan mendatang di Kuala Lumpur. Pertemuan tersebut juga akan dihadiri oleh utusan khusus dari Amerika Serikat dan Tiongkok.

Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya kekerasan dan menyerukan penghentian segera terhadap seluruh aksi militer. KBRI di Bangkok dan Phnom Penh telah mengeluarkan imbauan bagi WNI di wilayah terdampak agar meningkatkan kewaspadaan dan mengikuti arahan otoritas setempat.

Meski gencatan senjata mulai dibahas secara diplomatis, situasi di lapangan tetap tegang. Kedua negara masih mempertahankan posisi militer masing-masing di zona perbatasan, dan serangan sporadis dilaporkan masih terjadi. Warga yang tertinggal di wilayah konflik kini menghadapi krisis kemanusiaan akibat keterbatasan pasokan air bersih, makanan, dan layanan kesehatan.

Tidak ada komentar