FORMOSA NEWS, Jakarta - Performa mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan di tengah kuatnya ekonomi AS dan indeks dolar AS (DXY). Sejumlah mata uang utama Asia bahkan mencetak rekor terburuk dalam periode yang sangat panjang.
Dilansir dari Refinitiv, mata uang Asia yang memiliki penurunan cukup signifikan yakni yen Jepang serta rupee India.
Tidak hanya kedua mata uang tersebut, mata uang Asia lainnya seperti rupiah Indonesia, peso Filipina, hingga won Korea Selatan pun terpantau mencetak rekor terendah.
Mata uang India, rupee, ambruk ke level terendah dalam sejarah karena banyaknya investor asing yang menjual portofolio mereka di India dan beralih ke instrumen berdenominasi dolar AS
Yen Jepang terpantau mengalami depresiasi hingga ke level terendah sejak Juni 1990 atau 34 tahun terakhir (406 bulan).
Para pedagang fokus pada apakah otoritas moneter Jepang akan mengambil tindakan untuk menopang mata uang yang memburuk dengan cepat.
Mengutip dari CNBC International, para pejabat telah meningkatkan peringatan tentang kemungkinan intervensi, meskipun para analis juga mencatat bahwa akan sulit dan mahal untuk melawan tren bullish dolar yang kuat.
Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki mengatakan akan mengambil respon menyeluruh sesuai kebutuhan.
Suzuki juga menegaskan bahwa Jepang tidak akan mengesampingkan langkah apa pun untuk menanggapi pergerakan mata uang yang tidak teratur.
"Intervensi saat ini hanya dapat berfungsi untuk memperlambat atau mengelola laju depresiasi, namun tidak dapat mengubah suatu tren dan itu sebenarnya sangat mahal," kata Kenneth Broux, kepala riset perusahaan, FX and rates at Societe Generale.
Broux juga menambahkan bahwa tantangan besar bagi sejumlah mata uang Asia adalah selama imbal hasil obligasi AS terus naik lebih tinggi, karena perjuangan akan berlanjut melawan selisih imbal hasil yang tinggi.
Begitu pula dengan rupee India yang mengalami depresiasi hingga menyentuh level 83,6 atau tertinggi sepanjang sejarah.
Hal ini terjadi akibat tekanan dari DXY perihal data yang mengindikasikan bahwa bank sentral AS (The Fed) dapat menunda pemotongan suku bunga.
Survei CME FedWatch Tool menunjukkan 46,6% pelaku pasar berekspektasi bahwa first cut rate terjadi pada September 2024. Hal ini berbeda dari beberapa waktu lalu yang menunjukkan first cut rate terjadi pada Juni 2024.
Tidak hanya itu, permintaan dolar AS terus meningkat sebagai safe-haven karena kekhawatiran pelaku pasar di tengan ketegangan timur tengah antara Iran dan Israel belakangan ini.
Untuk diketahui, Ketegangan di Timur Tengah, yang meningkat di tengah perang Israel-Hamas yang berkecamuk di Gaza sejak 7 Oktober, semakin meningkat karena Iran berjanji akan membalas jika musuh bebuyutannya, Israel, melancarkan serangan lebih lanjut.
Dalam serangan besar-besaran yang terjadi pada akhir pekan lalu, Iran dan kelompok sekutunya meluncurkan lebih dari 300 rudal dan drone ke Israel.***
Posting Komentar
0Komentar