5 Warisan Ekonomi dari Jokowi untuk Prabowo

lusius-sinurat
By -
0

FORMOSA NEWS, Jakarta - Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029.


Mengemban jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia tentu tidaklah mudah, mengingat cukup banyak permasalahan yang ada saat ini dan target-target yang cukup tinggi ke depan.


Saat ini jabatan presiden masih dipegang oleh Joko Widodo (Jokowi) hingga periode keduanya berakhir pada Oktober 2024, Prabowo Subianto akan dilantik menjadi presiden. 


Setidaknya ada 5 persoalan ekonomi yang diwariskan Jokowi kepada Prabowo: (1) Pertumbuhan Ekonomi Stagnan, (2) Kualitas Pendidikan yang Rendah, (3) Kualitas Tenaga Kerja Masih Lemah, (4) Kualitas Tenaga Kerja Masih Lemah, dan (5) Industrialisasi Tergolong Rendah.


Berikut akan diuraikan kelima persoalan ekonomi di atas:


1. Pertumbuhan Ekonomi Stagnan
Sejak kuartal IV-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan dan berada di angka 5% setiap kuartalnya. Sedangkan secara setahun penuh, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga relatif berada di angka 5%an sejak 2022 yakni 5,31% sementara pada 2023 sebesar 5,05%.


Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia cenderung stagnan. Dalam perhitungan IMF, ekonomi Indonesia bahkan hanya bisa tumbuh 5,1% pada 2029 atau hingga Prabowo menyelesaikan tugasnya sebagai presiden.


Harapan penuh diamanatkan kepada Prabowo-Gibran mengingat dalam berbagai debat dan kesempatan, Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi yakni 7-8%.


2. Kualitas Pendidikan yang Rendah
Mutu pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah, padahal pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang mimpi besar Indonesia untuk menjadi negara maju.


Keberadaan pendidikan menjadi vital lantaran diharapkan bisa menghasilkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang hebat, sehingga mendorong produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat.


Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan hasil Program for International Student Assessment (PISA) Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun cukup dalam. 


Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merefleksikan mutu pendidikan di Tanah Air masih rendah.


3. Kualitas Tenaga Kerja Masih Lemah
Angkatan kerja di Tanah Air masih didominasi masyarakat berpendidikan rendah, akan tetapi tingkat pengangguran dari lulusan universitas naik dikala jumlah pengangguran nasional turun.


Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2023 angkatan kerja paling banyak berasal dari penduduk yang berpendidikan tingkat dasar, mencapai 52,41%.


Di sisi lain, pada periode yang sama jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,86 juta orang, turun sekitar 560.000 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan kondisi Februari 2023 juga terjadi penurunan sekitar 130.000 orang.


Penurunan pengangguran ini sebenarnya menjadi kabar gembira karena yang menunjukkan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun, sayangnya hal tersebut tidak disertai penyerapan tenaga kerja dari kalangan pendidikan tinggi.


4. Perekonomian RI Tidak Efisien
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih terbebani dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi, yakni tambahan investasi yang dibutuhkan untuk 1% pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi. Pertumbuhan ekonomi RI pun kini stagnan di level kisaran 5%.


ICOR mencerminkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Nilai ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output.


Semakin besar nilai koefisien ICOR, semakin tidak efisien perekonomian pada periode waktu tertentu. Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia tinggi mulai dari sarana infrastrukur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, hingga tingginya biaya logistik.


Level ICOR Indonesia saat ini berada pada angka 6,8. Artinya 1% pertumbuhan ekonomi membutuhkan tambahan rasio investasi terhadap PDB sebesar 6,8. Dengan demikian, kebutuhan investasi terhadap PDB harus semakin tinggi untuk mendorong 1% pertumbuhan ekonomi.


Artinya, jika kita ingin tumbuh 6 sampai dengan 7 persen, maka kita membutuhkan investasi terhadap PDB antara 41% sampai dengan 47%. Atau di dalam nominal, jika PDB harga berlaku kita adalah Rp 19.500 triliun, kita membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 780 triliun jika ingin tumbuh 6%, atau Rp 1.950 triliun jika ingin tumbuh 7%. 


5. Industrialisasi Tergolong Rendah
Manufaktur menjadi salah satu industri yang memiliki peran penting dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). 


Porsi manufaktur Indonesia terhadap PDB cenderung turun dari 20,97% pada 2015 menjadi hanya 18,67% pada 2023.


Bahkan jika dilihat lebih luas, tren penurunan ini terjadi sejak 2008 dari titik tertingginya 27,9% atau telah turun 9,23%.


Pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan disertai penurunan kontribusi sektor manufaktur dan ditambah dengan peningkatan pekerja informal serta utang negara inilah yang dinamakan fenomena deindustrialisasi.


Deindustrialisasi terjadi bukan tanpa sebab, perkembangan teknologi menjadi salah satu alasan fenomena tersebut terjadi karena teknologi bisa mengurangi kebutuhan tenaga kerja dalam sektor manufaktur. 


Lihat saja, ada kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang dapat dengan mudah membantu setiap pekerjaan manusia, tanpa istirahat dalam waktu 24 jam penuh, dan biaya yang lebih murah.


Turunnya kontribusi sektor manufaktur ke PDB bisa berlanjut yang dampaknya bisa ke penerimaan pajak yang turun dan utang negara bisa meningkat. 


Diperlukan kerjasama antara pemerintah dengan sektor manufaktur di tengah masifnya perkembangan teknologi agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga positif.


Industrialisasi merupakan kunci bagi negara manapun untuk menjadi negara maju. Selain menciptakan banyak tenaga kerja, industrialisasi memegang kunci menjadi negara maju karena mencerminkan meningkatnya kesejahteraan serta pengembangan inovasi.*


Sumber: cnbcindonesia.com

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)