Mataram
— Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah mengalami transformasi ekonomi yang
signifikan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan hasil penelitian dari Eka
Agustiani, SE., MM, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram,
struktur ekonomi NTB menunjukkan pergeseran dari dominasi sektor primer menuju
sektor tersier, terutama di wilayah perkotaan seperti Kota Mataram dan Kota
Bima.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share untuk menganalisis kontribusi dan daya saing sektor-sektor ekonomi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di seluruh kabupaten dan kota di NTB selama periode 2019–2023. Data yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), khususnya data PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha.
Meskipun
sektor jasa menunjukkan pertumbuhan pesat di wilayah perkotaan, sektor primer
seperti pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan masih menjadi sektor
basis utama di sebagian besar kabupaten. Kabupaten seperti Lombok Timur,
Sumbawa, dan Bima mencatat nilai LQ lebih dari 1, yang menandakan bahwa sektor
primer masih menjadi penggerak utama perekonomian lokal.
Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap sumber daya alam masih tinggi di wilayah-wilayah tersebut. Namun, kondisi ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mendorong diversifikasi ekonomi dan industrialisasi di daerah.
Kota
Mataram tercatat sebagai wilayah dengan jumlah sektor basis terbanyak, yaitu 13
sektor. Keunggulan ini didorong oleh dominasi sektor jasa dan manufaktur, serta
peran strategis kota sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi provinsi. Kabupaten
Lombok Barat dan Kota Bima menyusul dengan masing-masing 12 dan 11 sektor
basis.
Sementara
itu, Lombok Tengah menempati posisi teratas dalam komponen Pangsa Wilayah
(KPPW) dalam analisis Shift Share. Ini menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi
di Lombok Tengah tumbuh lebih cepat dibandingkan rata-rata provinsi, menandakan
daya saing yang kuat, terutama di sektor pertanian, jasa, dan industri
pengolahan.
Meski sebagian besar wilayah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, penelitian ini juga mengungkap adanya ketimpangan antarwilayah. Kabupaten Sumbawa Barat, misalnya, mencatat nilai KPPW terendah di NTB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut relatif lambat dan daya saingnya masih lemah. Faktor-faktor seperti keterbatasan infrastruktur, rendahnya diversifikasi sektor ekonomi, serta ketergantungan pada sektor primer menjadi penyebab utama kondisi ini.
Penelitian
ini memberikan sejumlah rekomendasi strategis bagi pemerintah daerah. Di
antaranya adalah pentingnya memfokuskan kebijakan pembangunan pada
sektor-sektor basis yang memiliki keunggulan kompetitif dan potensi pertumbuhan
tinggi. Pemerintah juga didorong untuk menggali potensi sektor-sektor
alternatif, terutama di daerah yang masih tertinggal seperti Sumbawa Barat.
Selain
itu, penguatan sektor sekunder seperti industri pengolahan dan konstruksi
dinilai penting untuk mendorong nilai tambah ekonomi dan menciptakan lapangan
kerja baru. Transformasi ekonomi dari sektor agraris menuju sektor jasa dan
industri harus dilakukan secara bertahap dan inklusif agar manfaatnya dapat
dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat NTB.
Menuju
Ekonomi NTB yang Berkelanjutan
Secara
keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa NTB tengah berada dalam
fase transisi ekonomi yang penting. Dominasi sektor jasa di wilayah perkotaan
menjadi sinyal positif bahwa provinsi ini mulai beranjak dari ketergantungan
pada sumber daya alam menuju ekonomi berbasis jasa dan nilai tambah. Namun,
keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah
daerah dalam merumuskan kebijakan yang tepat sasaran dan berkelanjutan.
Dengan
strategi pembangunan yang inklusif dan berbasis potensi lokal, NTB berpeluang
besar menjadi salah satu provinsi dengan struktur ekonomi yang tangguh dan
adaptif di masa depan.
0 Komentar