Subscribe Us

Breaking News

Ekonomi Biru Berkelanjutan Jadi Jalan Menuju Keadilan Sosial dan Konservasi Laut

Illustrasi gambar, sumber: Gemini AI


FORMOSA NEWS - Surabaya - Penerapan ekonomi biru berkelanjutan dinilai sebagai strategi kunci dalam mewujudkan keadilan sosial yang berbasis ekologi, pelestarian kearifan lokal, serta konservasi lingkungan dan kelautan. Hal ini diungkapkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert Tambun, Sutrisno, dan Hadi Prasutiyon dari Universitas Hang Tuah.

Konsep ekonomi biru berkelanjutan berakar pada program pengembangan ekonomi lokal yang diprakarsai oleh International Labour Organization (ILO) di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pendekatan ini menekankan pemanfaatan sumber daya laut secara efisien, ramah lingkungan, dan berbasis kearifan lokal, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan.

Penelitian menyoroti bahwa pembangunan ekonomi kelautan harus mempertimbangkan aspek konservasi, transportasi laut, eksplorasi energi, serta potensi bioprospeksi. Dalam pelaksanaannya, strategi dan kebijakan yang dirancang pemerintah harus berpijak pada partisipasi masyarakat dan potensi daerah, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi semata.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar dengan 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, menyimpan potensi ekonomi laut hingga 1.200 miliar dolar AS per tahun. Nilai ini berasal dari 11 sektor ekonomi kelautan, antara lain perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan ikan, bioteknologi laut, energi dan sumber daya mineral, pariwisata laut, transportasi laut, serta jasa dan industri maritim lainnya.

Sektor-sektor ini menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja setara sepertiga dari total tenaga kerja nasional. Namun, pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Contohnya, pemanfaatan perikanan budidaya baru mencapai 20,95% dari total potensi, dengan berbagai tantangan seperti rendahnya ketersediaan benih unggul, harga pakan tinggi, dan infrastruktur yang belum memadai.

Industri pengolahan hasil perikanan juga menghadapi berbagai hambatan, seperti minimnya pasokan bahan baku yang berkelanjutan, rendahnya daya saing produk ekspor dibandingkan negara tetangga, serta lemahnya inovasi dan sertifikasi mutu.

Illustrasi gambar, sumber: ChatGpt AI

Dalam aspek regulasi, artikel ini menyebut pentingnya penerapan kebijakan nasional yang terintegrasi, termasuk penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/50/MEN/2012 tentang rencana aksi nasional untuk mencegah dan memberantas illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Selain itu, Peraturan Menteri Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang moratorium izin usaha penangkapan ikan juga menjadi salah satu upaya pemerintah menghadapi praktik penangkapan ikan ilegal.

Meski Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara maritim, penelitian ini menyoroti bahwa peringkat daya saing Indonesia masih berada di posisi ke-38 secara global, dengan indeks pembangunan manusia (IPM) 0,629 dan pendapatan per kapita 4.500 dolar AS menempatkannya dalam kategori negara berpenghasilan menengah ke bawah.

Penelitian ini juga menggarisbawahi tantangan makro yang dihadapi Indonesia, seperti kebocoran sumber daya kelautan, pencemaran lingkungan, lemahnya konektivitas maritim, hingga ancaman perdagangan bebas yang belum diimbangi oleh kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia.

Namun demikian, jika semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, mampu bekerja sama secara terintegrasi, konsep ekonomi biru berkelanjutan dapat menjadi fondasi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi lokal yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

1 komentar: