Home
/
Krisis Integritas
/
Opini Pendidikan
/
Pendidikan
/
Nilai 30 Diubah Jadi 70": Cermin Kebobrokan Sistemik dalam Dunia Pendidikan
Nilai 30 Diubah Jadi 70": Cermin Kebobrokan Sistemik dalam Dunia Pendidikan
FORMOSA NEWS - Medan – Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang dengan temuan praktik manipulasi nilai siswa yang dinilai merusak integritas akademik. Salah satu contoh yang mencolok adalah perubahan nilai siswa dari 30 menjadi 70 demi memenuhi standar kelulusan atau mempertahankan citra baik sekolah. Fenomena ini bukan sekadar soal angka, tetapi menggambarkan kegagalan sistem pendidikan dalam menjunjung nilai kejujuran dan tanggung jawab moral.
Hal ini diungkapkan oleh Engran Ispandi Silalahi, M.Pd., Ketua Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Assakinah Medan. Menurutnya, praktik semacam ini menunjukkan kerusakan sistemik yang melibatkan berbagai pihak dalam ekosistem pendidikan, mulai dari guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, hingga orang tua siswa.
"Ketika guru secara sadar mengubah nilai secara tidak objektif, itu bukan hanya melanggar etika, tapi juga mencederai tujuan utama pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003," tegas Engran.
Ia menjelaskan bahwa pendidikan nasional seharusnya bertujuan membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, bukan hanya mengejar angka kelulusan. Manipulasi nilai adalah kemunduran moral yang berpotensi melahirkan generasi ilusi—yakni siswa yang secara administratif terlihat mampu, padahal secara kompetensi masih jauh dari harapan.
Engran juga menyoroti tekanan yang dihadapi guru dalam praktik manipulasi ini. Guru sering kali berada dalam posisi terdesak akibat tuntutan dari kepala sekolah, desakan orang tua, hingga kebijakan seragam dari dinas pendidikan yang mengabaikan perbedaan kemampuan siswa. Akibatnya, guru tidak lagi mendidik dengan hati nurani, tetapi sekadar menyesuaikan angka demi menghindari konflik atau sanksi.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa sekolah kini telah bergeser dari fungsi utamanya sebagai lembaga pembentuk karakter menjadi pabrik ijazah dan angka. Ketika mutu pendidikan hanya diukur dari nilai dan akreditasi, maka substansi pembelajaran dan integritas pun terpinggirkan.
“Manipulasi nilai menyebabkan siswa yang malas pun bisa lulus. Ini merusak prinsip meritokrasi. Dunia kerja nanti tidak menilai ijazah, tapi kemampuan riil,” tambahnya.
Menurutnya, masalah ini juga mencerminkan kegagalan sistem pengawasan pendidikan. Lembaga pengawas seperti dinas pendidikan dan kementerian sering kali tutup mata atau bahkan ikut serta dalam menciptakan budaya pencitraan yang semu. Akreditasi sekolah dan evaluasi mutu menjadi formalitas belaka, jauh dari realitas lapangan.
Akibat dari praktik ini tak hanya berdampak pada kualitas lulusan, tapi juga pada kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru. Ketika integritas guru diragukan, maka wibawa dan peran mereka sebagai pendidik akan tergerus. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan pemulihan moralitas guru yang dilakukan secara kolektif dan berkelanjutan.
Sebagai solusi, Engran menegaskan perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan, khususnya dalam aspek evaluasi, peran guru, dan ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan. Ia menilai bahwa instrumen seperti surat edaran atau seminar belum cukup untuk mengatasi persoalan ini secara substantif.
“Guru harus diberi ruang untuk jujur tanpa takut dimutasi atau dibully hanya karena tidak meluluskan banyak siswa. Budaya objektivitas dan pembentukan karakter harus dikembalikan ke dalam roh pendidikan kita,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa "nilai 30 yang diubah menjadi 70" bukan sekadar kesalahan individu, melainkan potret menyeluruh dari bobroknya sistem pendidikan kita saat ini. Semua aktor pendidikan—guru, kepala sekolah, dinas, orang tua, bahkan siswa—harus berani mengakui bahwa sistem ini sedang sakit, dan segera bergerak untuk memperbaikinya.
Referensi:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Suyanto & Asep Jihad (2022). Manajemen Pendidikan di Era Digital. Jakarta: RajaGrafindo
OECD (2019). PISA 2018 Results. Paris: OECD Publishing
Kompas.com. (2023). “Nilai Direkayasa, Dinas Pendidikan Harus Bertindak.”
Ubaidillah, M. (2021). Krisis Integritas dalam Pendidikan Indonesia. Jurnal Pendidikan Karakter.
Penulis : Engran Ispandi Silalahi, M.Pd.
Ketua Tim Penjaminan Mutu Pendidikan
Nilai 30 Diubah Jadi 70": Cermin Kebobrokan Sistemik dalam Dunia Pendidikan
Reviewed by Muti Amanda Chairiyah
on
20:11
Rating: 5
Tidak ada komentar