Pentingnya Kedekatan Kepada Anak

lusius-sinurat
By -
0

FORMOSA NEWS - Dengan membaca koran, televisi, terutama di media sosial, Indonesia adalah surga bagi pedofil, narkoba, korban transaksi surga dan agama, rekruiter kelompok radikal, dan berbagai stigma negatif lain.

Sebaliknya, hanya segelintir orang tua yang menyempatkan diri berbicara dari hati ke hati dengan anak-anaknya, mulai dari pertemanan, seksologi, agama, bahkan bahaya narkoba.

Sementara lembaga pendidikan, baik di perkotaan dan di pedesaan tak lebih dari sebagai kasir yang menyetor uang sekolah dan uang kuliah anak setiap bulannya.

"Inilah enaknya punya anak," kata teman saya Bernike. "Saya bekerja keras hingga jumpalitan rasanya tak sia-sia, karena apa yang kulakukan adalah seluruhnya untuk anakku sendiri."

Bernike memang menyukai anak-anak. Waktu masih remaja hingga sebelum manikah, Ia selalu menyempatkan diri menyapa anak-anak dan berbicara dengan bahasa anak-anak. Anak-anak juga menyukainya. 

Setiap hari minggu, ia menjadi guru sekolah Minggu. Itu sebabnya anak-anak juga seringkali mencarinya. Ia sosok sabar dan bergaul dengan sangat hangat dengan anak-anak.

Bisa jadi karena ia tak punya beban untuk bergaul dengan anak-anak itu. Maksudnya, ia tak harus banting tulang untuk menyekolahkan anak-anak itu, bahkan harus berantem dengan istri yang tak cerdas mendistribusikan kas keluarga.

Kini, setelah punya anak, ia sedikit berubah. Anak-anaknya justru takut sama dia. Tak seperti dulu, saat ia masih guru sekolah minggu, kini anaknya bahkan lebih suka  ia tak di rumah.

"Abis, mama cerewet banget. Tak boleh inilah, tak boleh itulah," curhat anak sulungnya yang sudah mulai beranjak remaja.

Bernike pun menyadari perubahan itu. Padahal suaminya saat dulu justru jatuh cinta pada sifat keibuannya. 

Bagaimana tidak, setiap hari Minggu Bernike sengaja membawa keponakannya ke gereja sebagai alasan untuk sekedar bertemu dengan pria idaman.

Begitulah perjumpaan mereka berlangsung satu tahun, hingga pria idaman menikahinya.  Tapi memang Bernike tak lagi secinta duku kepada suaminya. Mungkin karena wajah suaminya tak lagi cerah seperti dulu. Guratan keletihan tampak jelas di wajahnya. Suaminya terlalu lelah mencari uang.

Seperti diakuinya, Bernike bahkan tak punya waktu luang lagi untuk bermain dengan anak-anaknya. 

Kini ia harus bangun jam 5, nyiapin sarapan, mandiin dan antar anak ke sekolah jam 6 hingga mulai jualan di pasar hingga dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam.

Ia pulang dalam kondisi lelah. Tapi seperti pengakuannya, ia tak menyesal dan ia sangat bangga diberi Tuhan kesehatan hingga bekerja keras demi anak-anaknya. 
Hanya saja ia lama-lama mulai sadar betapa anak-anaknya begitu berjarak dengannya. Ia bahkan suka salah panggil nama anaknya.

Boro-boro ngobrol dari hati ke hati dan berdiskusi sebagai orang tua dan anak tentang banyak hal, entah tentang jajanan yang sehat di sekolah, teman anak-anaknya di sekolah, untuk sekedar bertanya kesulitan anaknya saat mengikuti pelajaran.

Akan seperti apa anak saya kelak? Saya ini sangat percaya pada kehendak Tuhan. Aku membawanya dalam doa saja. 

Apa yang terjadi dengan sobat di atas hanyalah salah satu contoh konkrit betapa banyak keluarga-keluarga Indonesia yang begitu fokus pada berbagai ancaman pada anak-anak mereka, tetapi mereka banyak lupa tentang pentingnya kedekatan fisik dan psikologis dengan anak-anak mereka.


Editor : Muti Amanda Chairiyah
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)